Oleh: Takhbir Asso
"DEBAT PILGUB BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA SUDAH DILAKUKAN DENGAN BAIK DAN TERTIP, HANYA PROVINSI PAPUA YANG PERDEBATAN SERTA PERTANYAAN DARI MODERATOR YANG LONTARKAN KEPADA KEDUA KANDIDAT KELUAR DARI KORIDOR POLITIK PRAKTIS"
Bicara soal pilgub provinsi papua tidak bisa disamakan dengan politik perjuangan kebebasan rakyat bangsa papua dan segala pelanggaran HAM di tanah papua, sebab pelaku pelanggaran HAM adalah aktornya negara republik indonesia, sedangkan soal pilgub hanya sebatas kepala daerah untuk menjadi memperpanjang tangan negara. Ketika melihat dalam perdebatan tadi malam di TVONE kuningan timur jakarta selatan tersebut, sangat keluar dari koridor politik praktis, moderator lontarkan pertanyaan mengenai konflik di beberapa daerah provinsi papua dan soal pelanggaran HAM ditanah papua serta soal perjuangan kebebasan rakyat bangsa papua, maka 3 aktor utama harus dihadirkan ditengah perdebatan itu.
1. Presiden Republik Indonesia
2. Kepala Panglima TNI Republik Indonesia
3. Kepala Kapolri Republik Indonesia
1. Presiden Republik Indonesia
2. Kepala Panglima TNI Republik Indonesia
3. Kepala Kapolri Republik Indonesia
Sebagai pelaku diberbagai kasus yang dialami oleh rakyat bangsa papua ini wajib hadir menjelaskan serta bertanggungjawab sepenuhnya dan serius, tidak bisa lempar batu sembunyi tangan, sebab masalah papua bukan soal makan minum dan masalah papua tidak bisa disamakan dalam politik praktis, penanggungjawab sesungguhnya dalam berbagai kasus ditanah papua adalah NEGARA, bukan bupati, bukan toko agama, juga bukan gubernur, jabatan mereka hanya perpanjangan tangan pemerintah pusat, dan dua masalah yang berbeda ini dalam penanganan pun berbeda.
Bukan kita tidak suka, bukan juga kita tidak menerima atas segala proses yang dilakukan negara ini, tapi kami hanya menyesalkan kepada negara atas kekeliruan ini, lebih khususnya kami sesalkan atas stetmen atau pertanyaan serta jawaban yang dilontarkan dari paslon urut nomor 2 yaitu jhon wempi wetipo dan habel melkias suai, yang katanya lukas enembe dan klemen tinal gagal dalam penangan segala kasus ditanah papua, seperti contohnya. Paniai berdarah dan beberapa konflik di timika, paslon 2 menilai gagal total, namun paslon nmr urut 1 lukas enembe dan klemen tinal pun menjawab dengan tegas bahwa: "Gaya kepemimpinan dan Gaya pendekatan serta dalam Penangan kita berbeda, anda dengan saya beda gaya dalam kepemimpinan, yang saya khawatirkan adalah, papua akan lebih hancur dipimpin oleh jhon wempi wetipo & Habel suai dibanding dengan saya. Kata pak lukas.
Ketika seseorang mencalonkan diri dengan niat yang kotor, maka dalam kepemimpinan pun tidak akan berjalan baik, kami berdua tunjukan kepada rakyat bangsa papua yang terbaik dan bertanggungjawab tanpa meninggalkan sedikitpun sampah ditanah papua, satu orang papua tidak bisa menangani jutaan orang papua ditanah papua, butuh kerjasama untuk membangun papua, mandiri, damai dan sejahterah diatas tanah leluhur kami sendiri.disambung oleh Klemen tinal selaku wakil gubernur nomor urut 1.
Dari sini kami rakyat bangsa papua bisa menyadari dan membuka mata yang lebar bahwa, siapa yang dalam sistem dan siapa yang diluar sistem, ketika seseorang dimanjkan oleh sistem maka apapun dia akan melontarkan tanpa memikirkan resiko, sebliknya ketika seseorang akan berlawanan dengan sistem, maka akan berhati2 dalam tindakan juga perkataan dan sikap. Semua terbukti dalam perdebatan di tvone kuningan timur jakarta selatan. Sekarang tinggal bagimana kita rakyat bangsa papua melihat dan memilih untuk yang terbaik ditanah papua kedepan.
PADA 2018 akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak gelombang ketiga di 171 daerah. Ini merupakan rangkaian proses menuju pilkada serentak nasional yang menurut rencana digelar pada 2024. Kita bisa melihat para kandidat di daerah yang akan menggelar pilkada telah sibuk menyosialisasikan diri agar dikenal masyarakat.
Landasan pelaksanaan pilkada serentak berdasarkan pada UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, yang merupakan revisi atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014. Pilkada serentak merupakan reformasi sistem pilkada yang sebelumnya dilaksanakan sesuai dengan berakhirnya masa jabatan kepala daerah. Pelaksanaan pilkada serentak merupakan usaha untuk mengakhiri ritual politik yang berlangsung sepanjang tahun. Namun, yang lebih penting lagi, pilkada serentak diharapkan menjadi solusi atas ongkos demokrasi berbiaya tinggi dari APBN dan APBD.
Hakikat dari proses pilkada merupakan upaya mencari pemimpin, yaitu kepala daerah yang memiliki kemampuan membangun dan memajukan. Bisa memaksimalkan sumber daya daerah demi kesejahteraan. Dalam pencalonan kepala daerah, parpol cenderung mengusung calon yang kemungkinan menangnya lebih besar. Bahwa ada parpol melakukan fit and proper test sebagai cara untuk mengetahui kemampuan kandidat, itu betul. Namun, ada indikator lain yang dipergunakan parpol. Sebagai mesin elektoral partai biasanya melihat tiga faktor. Pertama tingkat elektabilitas yang diukur melalui pendekatan ilmiah survei. Kedua jaringan pendukung selain mesin partai politik. Ketiga kemampuan finansial dibutuhkan untuk membuat program kampanye yang dapat menjangkau pemilih. Tiga faktor di atas merupakan konsekuensi dari demokrasi terbuka yang kita anut.
"Biaya Mahal Pilkada"
Pilkada serentak gelombang ketiga akan dilaksanakan pada Juni 2018, di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Pelaksanaan ini diperkirakan akan menelan biaya sebesar Rp11,3 triliun. Pilkada serentak gelombang kedua di 101 daerah menghabiskan biaya Rp7 triliun. Ini jauh melampaui anggaran pilkada gelombang pertama yang menghabiskan dana Rp4,4 triliun di 269 daerah.
Pilkada serentak gelombang ketiga akan dilaksanakan pada Juni 2018, di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Pelaksanaan ini diperkirakan akan menelan biaya sebesar Rp11,3 triliun. Pilkada serentak gelombang kedua di 101 daerah menghabiskan biaya Rp7 triliun. Ini jauh melampaui anggaran pilkada gelombang pertama yang menghabiskan dana Rp4,4 triliun di 269 daerah.
Menurut KPU, membengkaknya anggaran pilkada serentak gelombang ketiga disebabkan daerah-daerah yang melaksanakan pilkada serentak padat pemilih dengan wilayah luas, di antaranya Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua. Apa pun alasannya, anggaran pilkada yang terus membengkak patut dipertanyakan. Efisiensi biaya yang menjadi alasan pilkada serentak jelas tidak tercapai.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian ialah sistem penganggarannya. Persoalan pendanaan pilkada serentak sudah muncul sejak persiapan. Ada dua pendanaan yang akan menentukan hasil pilkada dan pemerintahan selanjutnya. Pertama, pendanaan yang disiapkan negara dalam hal ini berasal dari APBD dan APBN yang dipergunakan KPU dan Bawaslu. Kedua pendanaan kandidat untuk kampanye memenangi kontestasi pilkada.
Regulasi yang mengatur penda-naan dari negara selalu berubah. Ini terlihat dari UU No 8 Tahun 2015 menghendaki pendanaannya dibebankan pada APBD dan didukung APBN. Di lain pihak, UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, menetapkan bahwa pendanaan pilkada sepenuhnya dibebankan pada APBD. Namun, lewat Perppu No 1 Tahun 2014, biaya pilkada yang sebelumnya ditanggung sepenuhnya oleh APBD diubah menjadi dibebankan pada APBN dan dapat didukung melalui APBD.
Mengacu pada ketentuan dimaksud, Permendagri No 37 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2015. Daerah diimbau untuk mengalokasikan anggaran kegiatan Pilkada 2015 dengan menempatkannya dalam pos belanja hibah. Masalah yang muncul terkait dengan ketentuan di atas ialah terdapat dua mekanisme penganggaran. Tahap perencanaan anggaran hingga terbitnya SP2D (transfer dana dari kas daerah ke rekening KPUD/Bawaslu provinsi/Panwas) menggunakan mekanisme APBD, sedangkan perencanaan penggunaan dana hibah oleh KPU/Bawaslu provinsi/Panwas hingga ke pertanggungjawabannya menggunakan mekanisme APBN. Ketentuan yang sama berlaku juga pada pilkada serentak 2017 yang lalu dan Pilkada 2018 yang akan datang.
Khusus untuk penggunaan dana hibah Pilkada 2018, terdapat perbedaan antara Permendagri No 51 Tahun 2016 dan PKPU No 80 dan 81 Tahun 2017. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus karena berpotensi menimbulkan persoalan hukum. Di dalam permendagri tersebut, pokja perencanaan kegiatan ditentukan paling banyak 10 orang dengan masa kerja paling banyak tiga bulan. Sementara itu, dalam PKPU disebutkan, jumlah anggota pokja paling banyak 14 orang dengan masa kerja paling lama 11 bulan.
Selain perubahan dan tumpang tindih regulasi, terdapat persoalan komponen pembiayaan yang menyerap anggaran cukup besar, yaitu biaya pengamanan. Anggaran pengamanan dari APBD jelas menyalahi asas dan prinsip pemerintahan, yakni pemda tidak dibenarkan membiayai instansi vertikal. Selain itu, penyediaan anggaran pengamanan telah menempatkan pilkada sebagai extraordinary activity; sebuah ‘proyek’ yang perlu biaya khusus. Padahal, pilkada dapat dilihat dan ditempatkan sebagai kegiatan rutin sehingga tidak perlu disediakan dana ekstra untuk pelaksanaannya, sebab setiap kementerian/lembaga telah mandapat anggaran dari negara.
Sementara itu, pendanaan dari kandidat sudah dimulai sebelum masa kampanye. Kita bisa melihat bagaimana setiap kandidat yang ingin maju pilkada telah melakukan sosialisasi jauh-jauh hari. Selanjutnya, para kandidat akan menyiapkan biaya untuk ‘mahar’ kepada parpol agar mendapatkan dukungan. Soal mahar politik ini, setahu saya hanya Partai NasDem yang dengan tegas dan terbuka menolak. Jika kandidat maju menjadi calon independen, dibutuhkan dana operasional untuk mengumpulkan KTP sebagai syarat dukungan. Berikutnya para kandidat akan mengeluarkan dana besar pada masa kampanye. Kebutuhan ini untuk menggerakkan sumber daya baik itu partai ataupun jaringan pendukung lainnya.
Post a Comment