Yogyakarta, 24 September 2018.
Gerakan Mahasiswa Peduli Agraria (GEMPA) melakukan aksi memperingati hari tani Nasional dengan jumlah masa aksi ±500 yang terdiri dari berbagai elemen dengan mengangkat 3 isu, yaitu: persoalan agraria, persoalan HAM dan persoalan Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS) bagi Bangsa West Papua.
Persoalan Agraria di Indonesia masih menjadi persoalan mendasar bagi masyarakat Indonesia, hal tersebut terlihat dari berbagai kasus perampasan tanah yang terjadi dari tahun ke tahun. Kasus penggusuran, kriminalisasi petani, hingga kekerasan yang berujung pada kehilangan nyawa.
Kita menyaksikan konflik agraria dan kekerasan terus-menerus terjadi. Konflik agraria sejak saat orde baru hingga masa reformasi saat ini sudah sangat banyak dan menyebar luas. Menurut laporan akhir tahun 2017 Konsorsium Pembaruan Agraria sudah ada 659 konflik agraria yang mana sektor perkebunan menduduki peringkat pertama konflik terbanyak yaitu 208 konflik atau setara dengan 32%, lalu ada property 199 konflik (30%), infrastruktur 94 konflik (14%), pertanian 78 konflik (12%), kehutanan 30 konflik (5%), pesisir/kelautan 28 konflik (4%), dan pertambangan 22 konflik (3%). Dengan begitu ada 1.361 konflik agraria selama 3 tahun Jokowi-JK. Dalam konflik agrarian yang terjadi tidak asing lagi masyarakat mendapat perlawanan oleh pihak pemerintah, aparatus Negara seperti TNI/POLRI, dan juga preman.
Kita menyaksikan konflik agraria dan kekerasan terus-menerus terjadi. Konflik agraria sejak saat orde baru hingga masa reformasi saat ini sudah sangat banyak dan menyebar luas. Menurut laporan akhir tahun 2017 Konsorsium Pembaruan Agraria sudah ada 659 konflik agraria yang mana sektor perkebunan menduduki peringkat pertama konflik terbanyak yaitu 208 konflik atau setara dengan 32%, lalu ada property 199 konflik (30%), infrastruktur 94 konflik (14%), pertanian 78 konflik (12%), kehutanan 30 konflik (5%), pesisir/kelautan 28 konflik (4%), dan pertambangan 22 konflik (3%). Dengan begitu ada 1.361 konflik agraria selama 3 tahun Jokowi-JK. Dalam konflik agrarian yang terjadi tidak asing lagi masyarakat mendapat perlawanan oleh pihak pemerintah, aparatus Negara seperti TNI/POLRI, dan juga preman.
Menurut data yang tersedia, ada 369 warga yang dikriminalisasi, 224 dianiaya,6 orang tertembak, dan 13 orang tewas akibat dampak konflik agrarian yang terjadi. Sudah 20 tahun masa reformasi dilalui, namun semangat UUPA 1960 belum juga dijalankan, pemerintah lebih cenderung membuat Reforma Agraria (palsu) terlihat lebih sederhana dengan membangun opini public bahwasanya sertifikasi tanah adalah prinsip Reforma Agraria. Penetapan Tanah Objek Reforma Agraria juga tidak sesuai dengan tujuan Reforma Agraria, karena program ini dilakukan secara Top-down, seharusnya Reforma Agraria dilakukan dengan cara Bottom-up (gerakan dari bawah) yang melibatkan masyarakat dan organisasi masyarakat agar program ini sesuai dengan prinsip UU PA. Terkait dengan pelaksanaan program Reformasi Agraria, pemerintah sejauh ini belum melakukan pengadaan biaya khusus untuk Reforma Agraria. Fakta lain yang membuat Reforma Agraria harus segera diwujudkan adalah semakin turunnya kepemilikan lahan oleh rumah tangga petani yang hanya 0,5 Ha (BPS,2013). Pesatnya eksploitasi yang membuat Indonesia saat ini krisis ekologi juga berdampak bagi masyarakat kecil dan petani dalam mencari nafkah untuk keberlanjutan hidupnya, setidaknya ada lebih dari 30kasus ekploitasi dan perusakan ekologi yang terjadi. (KLHK,2016). Sehingga bisa dipastikan bahwa reforma agraria rezim Jokowi-JK adalah palsu dan sangat bertentangan dengan UU PA No.5 Thn 1960. Karena setiap konflik yang melibatkan korporasi dan masyarakat biasa selalu dimenangkan oleh pihak korporasi. Karena semua kebijakan Jokowi-Jk tidak lepas dari kebijakan yang menganut sistem Neolib yang meruapakan kebijakan dari sistem Kapitalisme itu sendiri. Sehingga Liberalisasi pasar, deregulasi, dan privatisasi dilakukan hanya untuk memuluskan kepentingan investasi negara-negara Imperialis maju.
Persoalan yang sama juga terjadi di tanah Papua yang melibatkan masyatakat adat dan korporasi Internasional. Pencemaran lingkungan, kasus-kasus pembunuhan, berkurangnya penduduk Asli Papua setiap tahun, tidak terlepas dari bobroknya kebijakan Jokowi-Jk sebagai kepala pemerintah dan juga interfensi militer sebagai alat untuk mengamankan modal besar kepunyaan asing yang membuat masyatakat Papua setiap hari harus meregang nyawa, karena nyawa masyarakat papua oleh rezim Jokowi-Jk tidak lebih berharga dibandingkan dengan investasi dan eksploitasi sumberdaya alam di tanah Papua.
Amnesty International melaporkan ada 69 kasus pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua selama Januari 2010-Februari 2018. Pembunuhan itu dilakukan oleh aparat keamanan, baik TNI, Polri, maupun Satpol PP. Dan kesemua kasus (69) yang didokumentasikan tidak ada satupun kasus atau pelaku yang menjalani proses investigasi oleh pihak terkait bahkan oleh badan hukum independen sekalipun.
Isu separatis pun tak luput dari permainan Militer untuk mendapat suplai dana dari perusahan-perusahaan besar yang beroperasi ditanah Papua. Ruang demokrasi ditutup rapat oleh negara kolonoial Indonesia untuk mengekang ruang gerak pendukung kemerdekaan Bangsa West Papua, baik dari masyarakat Indonesia yang sadar maupun dari masyarakat Papua itu sendiri.
Amnesty International melaporkan ada 69 kasus pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua selama Januari 2010-Februari 2018. Pembunuhan itu dilakukan oleh aparat keamanan, baik TNI, Polri, maupun Satpol PP. Dan kesemua kasus (69) yang didokumentasikan tidak ada satupun kasus atau pelaku yang menjalani proses investigasi oleh pihak terkait bahkan oleh badan hukum independen sekalipun.
Isu separatis pun tak luput dari permainan Militer untuk mendapat suplai dana dari perusahan-perusahaan besar yang beroperasi ditanah Papua. Ruang demokrasi ditutup rapat oleh negara kolonoial Indonesia untuk mengekang ruang gerak pendukung kemerdekaan Bangsa West Papua, baik dari masyarakat Indonesia yang sadar maupun dari masyarakat Papua itu sendiri.
Begitulah negara Indonesia memperlakukan masyarakatnya seperti jaman penjajahan masa kolonialisme Belanda dan menerapkannya di tanah Papua untuk mengeksploitasi seluruh sumber-sumber alam di tanah Papua. Negara yang kian hari memilik mental penjajah dan disuplai kedalam seluruh sektor sosial lewat media mainstream (miliki borjuiasi nasional mapun lokal) sebagai bentuk nasionalisme sempit bermental Penjajah.
Untuk itu, Gerakan Mahasiswa Peduli Agraria (GEMPA) menuntut kepada Rezim bermental penjajah:
1. Wujudkan Reforma Agraria Sejati yang berdasarkan UUPA No. 5 tahun 1960
2. Perbaharui UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
3. Optimalkan UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayan Petani
4. Stop Impor Pangan dan Wujudkan Swasembada Pangan
5. Membentuk Badan Otonomi Pangan di tiap Daerah
6. Sinkroniasai data BPS dan Kementerian Pertanian
7. Hentikan pendekatan Militeristik terhadap Konflik Agraria
Dan
8. Tarik Militer (Organik dan non Organik) dari Tanah Papua, tutup seluruh perusahaan nasional maupun asing diseluruh wilayah Papua. Buka ruang demokrasi seluas-luasnya untuk pelaksanaan HMNS sebagai solusi demokratis bagi bangsa West-Papua
9. Hentikan kriminalisasi Aktivis pejuang Lingkungan Hidup
10. Usut tuntas pelanggaran HAM masa lalu
11. Adili dan Penjarakan pelaku pelanggaran HAM masa lalu
12. Tolak pertemuan IMF-Wolrd Bank di Nusa Dua Bali
Gerakan Mahasiswa Peduli Agraria (GEMPA):
BEM SI DIY, LBH -Yogyakarta, ISMPI, PEMBEBASAN, Sanggili, AMP, FKK-HIMAGRI, KBN
BEM SI DIY, LBH -Yogyakarta, ISMPI, PEMBEBASAN, Sanggili, AMP, FKK-HIMAGRI, KBN
Sumber: Facebook Tinta M
Post a Comment