Oleh: Kristian Griapon-Publikasi-Sabtu, 15 September 2018
Foto Ilustrasi,1984 |
Pada masa Pemerintahan Belanda di Nederlans Nieuw Guinea (West Papua) Residen J.P Van Eechoud mempunyai peranan yang sangat besar dalam menghasilkan atau menumbuhkan “Paham Nasionalisme Papua”. Hal itu ditandai dengan lahirnya para Elit Papua terdidik yang berpendirian orang Asli Papua. Bersamaan dengan itu, Dr.Sam Ratulangi, Soegoro Admoprasojo, dan dr.Gerungan secara terselubung berhasil membentuk atau melahirkan Elit Politik Papua pro Indonesia.
Dari tahun 1950 s/d 1960-an telah terpolarisasi atau terbentuk dua kelompok elit politik yang berlawanan paham nasionalisme, yaitu pro Papua diantaranya Markus Kaisepo, Nicoaas Youwe, Hermanus Wayoi, dan kawan-kawannya. Serta mereka yang pro Indonesia diantaranya Silas Papare, Albert Karubuy, Lukas Rumkorem, Marten Indey , dan kawan-kawannya.
Elit politik pro Papua terpecah menjadi dua, yaitu mereka yang bekerja sama dengan pemerintahan kerajaan Belanda, dan mereka yang tidak bekerja sama dengan pemerintahan kerajaan Belanda.
Proses pembicaraan damai masa depan West Papua, yang dirumuskan oleh kedua pihak yang besengketa Indonesia-Belanda dibawah naungan PBB, yang dituangkan dalam “New York Agreement , 15 Agustus 1962”, tanpa melibatkan rakyat Papua . Dan pelaksanaan PEPERA tahun 1969 yang dirancang sesuai dengan budaya Melayu Indonesia Musyawarah untuk Mufakat dengan menghilangkan “Butir one man one vote” bukan menyelesaikan sengketa, malah mengalihkan sengketa Indonesia –Belanda, menjadi sengketa Papua-Indonesia yang berlangsung hingga saat ini.
“Pada masa generasi Papua terdahulu, telah tertanam dua paham nasionalisme, yaitu : Nasionalisme Papua dan Integrasi Nasionalisme Indonesia yang kini disebut-NKRI”.
Kedua paham nasionalisme inilah yang bertumbuh, berkembang, membuahkan pergolakan sosial-ekonomi, sosial-politik, sosial-budaya yang berkepanjangan di bumi West Papua, dan saat ini telah menjadi Ideologi Kemerdekaan West Papua yang digencarkan oleh generasi Papua berikutnya dari generasi terdahulu yang telah terpolarisasi dengan kedua paham diatas.
Saat ini bukan untuk saling menuding “siapa yang salah dan siapa yang benar”. Sebagai Orang Asli Papua harus menyikapi semua kejadian masa lalu yang menjerumus rakyat West Papua ke dalam sengketa yang membawa penderitaan berkepanjangan secara arif untuk segerah diakhiri, dengan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber dari Hak asasi Manusia universal dan, sejarah peradaban budaya orang asli Papua dalam konteks masyarakat global. (Ref: John RG Djopari, Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka, Grasindo,Jakarta ,1993.)
Post a Comment