Ilustrasi: pelanggaran HAM di Papua |
Kita semua sudah tahu peristiwa pada 16 Maret 2006 di depan Kampus Universitas Cenderawasih yang dikenal: Uncen Berdarah. Aparat keamanan Indonesia menangkap Deny Hisage seorang penjual koran pada 16 Maret. Deny ditahan & disiksa selama 3 hari dari tanggal 16-18 Maret.
Aparat keamanan Indonesia memotong kulit bagian perut dan tali perutnya keluar dan dibuang di kolam kangkung jalan Baru Abepura. Anggota polisi dari Polsek Abepura mengantarnya ke RS Abepura. Deny ada di RS Abe dari tanggal 18-20 Maret.
Pada 21 Maret jam 10.00 malam saya ditelepon dari RS Abepura bahwa Deny Hisage telah meninggal dunia.
Pada malam itu juga saya panggil pengurus Sinode Gereja Baptis Papua dan langsung pergi memastikan kebenaran berita ini. Ternyata benar, si Penjual koran ini pergi untuk selamanya dari tangan Iblis yang berwajah manusia.
Malam itu juga saya menelepon pak Agus Alue Alua, Ketua MRP, bahwa ada adik yang dibunuh dan mayatnya ada di RM Abe.
Saya sampaikan pak Agus, saya akan urus adik ini, pak Alua tolong bantu 1 peti jenazah. Beliau sanggupi.
Tidak ada keluarga yang mengaku dan datang mengambil jenazah untuk dikebumikan. Saya telepon seorang keluarga yang saya kenal. Dibalik telpon dia jawab, " Nagot Ap Kain hat urus dia, keadaan kami sulit nagot. Susah keluar ini." Artinya, Adik orang Besar, kamu urus dia."
Memang, apa yang disampaikan keluarga ini sangat benar. Karena setelah peristiwa 16 Maret, Abepura dan seluruh Jayapura menjadi kota mati. Yang kelihatan ialah aparat keamanan dan orang pendatang. Keadaan sangat menakutkan bagi Orang Asli.
Saya mengajak 5 orang Pengurus Sinode Baptis. Kami bagi tugas. Saya tugaskan 1 orang urus peti jenazah, 2 orang urus penggalian tanah, 1 orang tunggu di RS Abepura.
Semua kami siapkan dan saya dan staf pergi mengambil jenazah di RM. Saya parkir mobil & ada 3 orang pendatang menggunakan motor, sepertinya anggota yang memantau keluarga.
Saya parkir mobil dan buka pintu dan keluar dari mobil. Mereka SANGAT kaget waktu mereka melihat saya keluar dari mobil. Saya biarkan mereka terkaget-kaget, terheran-heran. Saya melangkah menuju ke kamar jenazah. Tapi ekor mata saya tetap pantau 3 orang itu. Setelah mereka lihat saya & staf masuk ke kamar jenazah mereka menghilang dari tempat itu.
Seorang penjual koran yang tidak tahu menahu dengan peristiwa 16 Maret menjadi korban kebiadaban dan kekejaman aparat keamanan Indonesia.
Peristiwa yang memilukan hati. Kami 5 orang Pengurus Sinode Baptis Papua mengurus mayat. Kami turunkan dari mobil dan angkat menuju tempat kuburan agak jauh dan melewati beberapa kuburan dengan rumah-rumah kecil.
Berat tapi pekerjaan mulia. Sepertinya kami berlima memikul Salib menuju bukit Golgota. Kami harus berhenti beberapa kali. Keringat membasahi seluruh baju kami dan panas terik matahari membakar tubuh kami.
Kami sampai di tempat kuburan. Kami beribadah dan berdoa. Kami kuburkan si Penjual Koran tanpa dihadiri oleh keluarga, sanak-saudara dan istri dan anaknya.
Tapi, kami berlima telah menjadi bagian dari keluarga Deny Hisage pada saat ia sudah tidak bernyawa.
Saya mendapat informasi dari keluarga dan mereka mengundang saya ketemu mereka di Wamena. Saya tahu maksud mereka, bahwa mereka mau berterima kasih kepada saya dengan memberikan sesuatu sebagai imbalan.
Saya kirim kabar kepada mereka. Bahwa ini bagian dari tugas saya sebagai Gembala. Deny Hisage, adik saya. Dia bagian dari hidup saya. Penderitaan dia adalah penderitaan saya. Biarkan Hisage istirahat dengan damai.
Karena, saya beriman, "pada suatu saat nanti, kejahatan, kekejaman mereka (Indonesia), kami akan membayar kembali dengan kasih, keadilan, kejujuran, kemanusiaan dan kesetaraan sebagai sesama manusia gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26)."
Doa dan harapan saya supaya pengalaman ini menjadi berkat.
(Gembala Dr. Socratez S.Yoman). Ita Wakhu Purom, Jumat, 5 Oktober 2018;17:29PM.
Post a Comment