Oleh: Ustad Ismael Asso
A. Pendahuluan
Sesungguhnya penyelesaian masalah
politik Papua Barat secara adil, damai dan bermartabat, dan hak bereksistensi
orang Papua di “dunia”-nya sepenuhnya dijamin dalam muqoddimah (pembukaan)
konstitusi Indonesia: ”…kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu
penjajahan dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan Pri Keadilan dan
Pri Kemanusiaan…dst”. Karena itu siapapun para pemimpin Indonesia harus
mengakui secara jujur. Karena tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, juga
konsep keadilan, mISLAM MENDUKUNG PAPUA MERDEKA? musyawarah dalam agama Islam,
agama anutan mayoritas penduduk Indonesia.
Inti pesan yang sesungguhnya
ingin disampaikan yaitu penyelesaian menyeluruh, agar konflik social politik di
Papua Barat diselesaikan secara adil, damai dan bermartabat bagi hak
bereksistensi orang Papua didunianya sendiri.
Sumbangan keberpihakan muslim
secara keseluruhan mayoritas penduduk Indonesia dirasakan miskin dalam hal
menegakkan HAM dan demokrasi, dan usaha menciptakan Papua tanah damai, tanah
perjanjian, kanaan, tanah harapan. Jika dibandingkan dengan lembaga Agama
Kristen, misalnya dari Katolik di Papua dan Dewan Gereja Internasional,
aktifitas keberpihakannya terhadap penegakan HAM dan demokrasi terasa cukup
intens, sebagai perwujudan kebenaran agamanya.
Ormas da’wah milik umat Islam
Indonesia seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah perannya tidak terlihat, walaupun
harus digaris bawahi di sini bahwa tujuan utama ormas Islam didirikan bukan
untuk menegakkan HAM dan Demokrasi di Tanah Papua. Karena itu wajar kalau
kemudian akibatnya lembaga milik Islam sama sekali tidak ada perannya untuk
menyelesaikan konflik di Papua.
Tapi mengapa ada sikap
ambivalensi beberapa ormas Islam radikal terhadap Papua (di Semarang dan Jogja,
HTI dan FPI, pernah bakar bendera “Bintang Kejora” dan mengejar beberapa
mahasiswa Papua, dengan ancaman bunuh dan usir dari daerah itu), harus ada kejelasan
mengapa (?).
Bahkan sikap ormas-ormas Islam
sebagaimana beberapa kali pernah dipertunjukkan misalnya oleh Hisbit Thahrir
Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), justeru sebaliknya, bukan sikap
perwujudan kebenaran agamanya, malah membenarkan tuduhan selama ini, agama
Islam adalah agama yang bertentangan dengan penegakan nilai-nilai hak asasi
kemanusian manusia, pembebasan, keadilan, kebenaran untuk ditegakkan secara
bersama, dalam konteks Papua sebagai zona damai, tanah perjanjian, “tanah kanaan”.
Hal itu lebih bisa dibenarkan
lagi, kalau Islam apalagi lembaga oramas-ormasnya selama ini tidak pernah ikut
ambil peran, sebagaimana sesama saudara agama samawi lainnya, Agama Islam,
sebagaimana terlihat dari ketiadaan peran lembaga Islam dan Muslim juga tidak
terlihat perannya seperti Agama dam umat lain misalnya Kristen Protestan, dan
Katolik. Ormas milik agama disebut dua terkahir, keberpihakannya dalam
penegakan kebenaran dan keadilan dalam usaha menciptakan kedamaian tanah Papua
begitu terasa sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Mengapa tidak demikian dengan
Islam? Ternyata jawabannya tidak sulit ditemukan, bukan Islamnya yang tidak
memiliki pesan-pesan kedamaian, kebenaran dan keadilan. Tapi justeru
sebaliknya, manusianya yang memeluk agama Islam kurang menyadari kalau kemudian
agamanya sarat nilai keadilan, kebenaran dan kemanusiaan (rahamatan
lil’alamin). Karena itu sebahagian orang, penganut agama lain, boleh jadi,
menganggap bahwa Islam tidak menunjang bahkan bertolak belakang dengan nilai
keadilan, kebenaran. Karena itu bisa gawat akibatnya di Papua, Islam sebagai
sebuah agama ditolak keberadaan kebenarannya.
Dengan demikian membuat orang
lain diluar Islam, menjadi ragu dan menganggap Islam bukan dari sumber
kebenaran, kebenaran Tuhan. Sehingga membenarkan asumsi keliru sebelum ini
bahwa Islam sebagai “agama sesat”. Demikian kesan Islam selama ini bagi
sebahagian orang bukan penganut Islam, bahkan misalnya Agama Islam identik
dengan “terorisme” oleh Barat Kristen dan juga oleh orang Papua non muslim.
Padahal Islam selalu sarat dengan
nilai moral dan keadilan. Tetapi mengapa para umatnya, penganut agama Islam,
selama ini misalnya dalam penyelesaian konflik sosial politik Papua Barat,
tidak peduli, apatis, terkesan mendorong penyelesaian masalah dengan cara
kekerasan oleh pihak-pihak? Bahkan lebih parahnya lagi kalau kemudian orang
Papua sampai pada kesimpulan, Islam dan muslim Indonesia tidak lain dari
kekacauan itu sendiri?
* *
Islam sebagai Agama yang benar,
dari sumber kebenaran yakni Allah SWT, Tuhan semesta alam, harus membimbing
moral (akhlaqul karimah), para pemeluknya untuk menunjukkan sikap kebenaran,
keadilan dan kejujuran pada semua pihak. Apalagi Rasulullah, Muhammad SAW,
sebagai Nabi terakhir (khotamunnabiyyin), mengaku dirinya diutus oleh Allah
SWT, semata-mata hanya untuk menyempurnakan akhlaq (moral) (Innamaa bu’istu
liutammima makari mal akhlaq; Artinya :
“Sesungguhnya aku diutus, kecuali
hanya untuk menyempurnakan akhlaq (moral)”.
Dan Rasulullah SAW diutus untuk
membebaskan umat manusia dari penjajahan, kedhaliman, kekafiran dan kesesatan
atas sesama umat manusia. Nabi Muhammad SAW, diutus oleh Allah SWT, datang
kedunia untuk membebaskan (memerdekakan) umat manusia dan untuk menciptakan
kedamaian abadi sebagaimana missi para nabi dan rosul lain yang masih sesama
keluarga, satu nenek moyang, yakni keturunan Abraham (Nabi Ibrahim AS) dan
agamanya disebut sebagai Abramic relegion, “millah” Ibrahim.
Karena itu disini, dalam kumpulan
tulisan ini, kami mencoba memberikan sumbangan pikiran, pendampingan, dan
keberpihakan kepada Bangsa West Papua ala kadar sesuai keterbatasan kemampuan
kami. Mengingat kontribusi solusi konfrehenshif, mencari jalan penyelesaian
banyak kasus pelanggaran HAM berat di Tanah Papua nihil dan selebihnya kaum
muslimin perannya dirasakan miskin. Sejauh ini praktis tidak ada keberpihakan
kaum muslimin melalui lembaga-lembaga Ormas Islam. Kesan selama ini Muslim
Papua pasif, misalnya dalam pelanggaran HAM berat yang seringkali membuat penat
pikiran pemerintah Indonesia oleh ulah TPN/OPM atau oleh TNI/POLRI
sesungguhnya, yang senantiasa tanpa kapan bisa pernah berakhir itu.
Untuk menghilangkan kesan itu
tulisan ini dipersembahkan sebagai sumbangan pemikiran muslim Papua. Disini
kami mencoba menampilkan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi
kontribusi atas berbagai persoalan ke-Islam-an dan ke-Papua-an guna mewujudkan
Papua menjadi ‚baldatun thoyyibatun warobbun ghafur‘, guna mencapai kemaslahan
bersama atas berbagai masalah sosial politik. Perspektif pemikiran lebih pada
nilai-nilai utama yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan
intrepretasi lebih bebas sesuai konteks budaya Papua.
B. Islam Mendukung Papua Merdeka!
Sengaja judul tulisan ditulis
begini agar permasalahan menjadi jelas. Namun pada tempat yang terbatas ini,
tidak dapat dijelaskan secara tuntas menyeluruh, hanya dijelaskan terbatas,
padahal pokok persoalannya luas. Namun paling penting adalah bahwa ada niatan
penulis mencoba mengangkat dari sudut lain, yang mungkin kebanyakan kita tidak
biasa memandang keterkaitan Islam dan prinsip pembebasan Papua, mau melihat
disini agar permasalahan menjadi jelas dalam menjawab judul tulisan ini.
Penulis merasa penting menjelaskan
ini sehingga kekeliruan atau lebih tepatnya ketidaktahuan umumnya kita selama
ini, baik dari kalangan didalam orang Islam terutama Muslim Papua, dan utamanya
kebanyakan orang Papua diluar Isl
am yang melihatnya sepintas lalu, keterkaitan
antara Islam-- sebagai suatu nilai kebenaran yang bersifat universal
sebagaimana agama-agama besar lainnya disatu pihak, --dan Perjuangan Gerakan
Papua Merdeka dilain pihak, serta Muslim sebagai pribadi-pribadi yang memeluk
nilai Islam yang memang pada akhirnya dapat berpotensi tidak selamanya sejalan.
Maka tulisan ini hanya sedikit mencoba menjelaskan keterkaitan itu.
Muslim Papua Antara "M"
atau "O"
Banyak kalangan dan mungkin
sampai saat ini, Muslim Papua dalam perjuangan papua Merdeka dari pejajahan
Indonesia bersikap tidak progressif atau malah tidak ada inisiatif sama sekali
dalam rangka mengambil bagian memperjuangkannya bersama rakyat Papua secara
bersama. Bahkan lebih parahnya lagi bahwa seakan mereka menyetujui penjajahan
Indonesia atas dirinya, mereka diam begitu saja tanpa ada perlawanan
sebagaimana masyarakat umumnya Papua dari penganut agama lain Islam.
Lembaga atau institusi milik
Islam Papua misalnya MUI, Muhammadiyyah dan PWNU; seakan bisu dan diam tanpa
peduli akan pelanggaran HAM di Papua Barat, sejak daerah ini di aneksasi
Indonesia melalui Pepera tahun 1962 yang konon cacat hukum karena tidak melalui
one man one vote. Tidak sebagaimana lembaga milik Kristen misalnya GKI atau
Pastoran dari Katolik, yang banyak melaporkan hasil temuan pelanggarakan HAM
berat di pegunungan bahkan terasa lebih dominan kepekaanya sebagai menegakkan
nilai-nilai kebenaran ajaran agamanya itu.
Sebaliknya, Muslim Papua dan
Ormas Islam. Umumnya institusi milik Islam dan kaum muslimin dalam sikap
politik antara pilihan "M" dan" O" sebelum atau pasca
kongres Papua, banyak kita saksikan bahwa Muslim Papua terkesan mendukung
"O" alias menghalangi Gerakan Papua Merdeka. Sampai saat ini hampir
banyak di pastikan Muslim Papua mungkin bisa dibahasakan; tidak ingin merdeka
terlepas dari NKRI. Hal ini lebih-lebih dari kalangan “amber” muslim yang
datang ke Papua dari penduduk Indonesia yang memang datang untuk mengabdi
kepentingan colonial (Jakarta-Indonesia), dari kalangan "amber". Atau
mereka yang dari kalangan masyarakat sipil Asia, Indonesia-Melayu, yang datang
ke Papua untuk mengais rezeki.
Terlepas dari persoalan beda
interpretasi teks-teks kitab suci sebagai platform fundamental (baca; Al-Quran
dan Al-Hadits) umat Islam seluruh dunia sebagai guidance, adalah argumentasi
kebalikan jawaban para Muslim pribumi yang ikutan bersikap sama dengan para
amber. Hal demikian ini menjadi terasa aneh bagi kita, ini disebabkan oleh
bertentangangannya dengan prinsip Islam yang mendasar yang kita tahu sebagai
rahmatn lil'alamin itu, tidak di wujudkan dalam sikap politik Muslim Papua
dalam pilihan "busuk" Indonesia.
Implikasi demikian itu
menyebabkan Islam salah di terjemahkan dalam sikap Politik antara O dan M oleh
Muslim Papua. Di sini seakan tidak ada ruang rekontektualisasi nilai-nilai Islam
sesuai dengan konteks social politik dan budaya Papua. Hal demikian disebabkan
oleh akibat kurang mengenalnya kita, Muslim Papua, akan ajaran inti Al-Quran
yang sesungguhnya hadir dimuka bumi, untuk membebaskan umat manusia dari
ketertindasan, pembunuhan, perampasan hak-hak asasi manusia seperti yang
terjadi pada Bangsa Papua saat ini.
Perampasan atau perampokan harta
kekayaan Orang Papua yang dilakukan oleh bangsa Indonesia betapapun Indonesia
adalah beragama Islam tetap itu adalah kedholiman, (bertentangan dengan ajaran
agama Islam). Penganiayaan bangsa Indonesia atas bangsa Papua apapun alasannya,
sesungguhnya bertentangan dengan ajaran inti Islam yang terkandung didalam
kitab suci, Al-Qur'an dan Al-Hadist. Sebab esensi kehadiran Islam dimuka bumi
adalah rahmatan lil’alamin, kasih sayang bagi seluruh alam, dan missi utamanya
kemerdekaan, kebenaran, keadilan dan pesan utamanya sesuai nama agama Islam itu
sendiri yaitu kedamaian
Penulis sangat menyesal banyak
saudara Muslim lain, sikapnya dalam konteks Papua lebih pro "O" atau
bertentangan dengan kenyataan bahwa kita di jajah Indonesia. Dan umumnya Muslim
Papua tidak sejalan dengan penulis atau Thoha Al-Hamid yang Sekjen PDP itu.
Bahkan Muslim Pribumi mudah percaya dengan omong kosong Indonesia yang umum
kita ketahui bersama selama ini, seperti mengintegrasikan Papua didalam RI/NKRI
untuk membangun dan memajukan Rakyat Papua.
Oleh sebab itu tulisan ini lebih
sebagai pendidikan politik Muslim Papua, akan hak-haknya yang diberikan dan
dijamin oleh Alloh SWT untuk di jaga. Dan kalau dirampas orang dari bangsa lain
atas kekayaan alam negeri yang diberikan oleh Allah SWT, sebagai amanah dan
dipelihara dari kerusakan, perampasan dan pencurian negara lain seperti kita
Papua harus dilawan.
Maka semoga minimal tulisan ini
harapannya harus menjadi kewaspadaan Pribumi Muslim Papua. Dan orientasi Muslim
Pribumi kedepan harus tetap atau kembali menbangun kesadaran sebagai Muslim
Papua untuk berdiri dalam barisan terdepan dalam menyuarakan kebenaran atas
penjajahan dan penindasan hak-hak hidup dasariah manusiawi yang dirampok dan
ditindas oleh Indonesia. Dan penjajah Indonesia harus dilawan sebagai hukum
kewajiban (fardhu ‘ain) oleh seluruh indivudu Muslim Papua.
Dengan menyatakan ini Penulis
yang berasal dari Muslim Papua asal Kelahiran Walesi, Wamena, Kab. Jayawijaya
Papua, menyerukan resolusi jihad fisabilillah bagi Penganut Islam Papua.
Setidaknya upaya tulisan ini sebagai ghozwulfikri, bahwa dengan opini demikian
akan menjadi khiroh (semangat) internal Pribumi Muslim dari kekeliruan sikap
politik antara dua pilihan sebelum ini atas intrepretasi ajaran Islam. Muslim
Papua harus menegakkan harga diri sebagai makhluk Allah SWT, yang mulia di muka
bumi dapat diwujudkan dengan menyatakan kebenaran sebagai yang benar dan salah
sebagai salah tanpa memperdulikan penjajah Indonesia sebagai sesama Muslim.
C. Islam Dan Muslim Berbeda
Mendukung Papua Merdeka sambil
mempertahankan diri sesama Papua adalah wajib hukumnya bagi Muslim Papua
kedepan ini. Yang menjajah betapapun ia Muslim harus dilawan karena Islam
berbeda dengan Muslim, apalagi Jawa, atau manusia Bugis-Buton Makasar, sama
sebaliknya manusia Bugis, Buton dan Makasar atau Madura wajib mendukung sesuai
ajaran Agama Mulia ini yakni Islam, kalau memang mereka benar Muslim dan ingin
menegakkan nilai-nilai Islam yang benar sesuai ajaran yang ada dalam
Qur'an-Hadist.
Muslim Papua, dari Jawa, Madura
atau Sulawesi kalau benar mereka beragama Islam berarti harus bersama Orang
Papua lain wajib memerdekakan Papua dan bersama Orang Papua lain baik Muslim
atau bukan wajib melawan penindasan itu. Sebab pendindasan oleh siapapun dan
dari seagama dengan kitapun itu harus dilawan karena tidak sejalan dengan
semangat agama Islam sebagai anutan mereka yang mengajarkan nilai persamaan dan
menjunjung martabat atau harga diri manusia. Sikap demikian terhadap penjajahan
atau penindasan sesungguhnya sangat sejalan dengan Islam. Karena esensi Islam
hadir kedunia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul justru untuk membebaskan
umat manusia serta menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan bagi siapapun
manusia dan dimanapun tempatnya tidak terkecuali Bangsa Papua saat ini. Islam
sekali lagi hanya, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Sebagaimana nilai asasi Islam di
jelaskan di atas, idealnya dan ini menjadi kewajiban tidak hanya oleh Muslim
Pribumi seperti Thoha Al-Hamid namun seluruh Muslim Papua yang merasa Muslim
harus menyatakan kebenaran ini bahwa penjajahan adalah kata lain pencurian,
perampokan atau exploitasi kekayaan alam milik Orang Papua oleh Indonesia
seperti dilakukan PT.Freeport, British Petrolium di Bintuni (daerah Penduduk
Muslim dari dulu), pencurian kayu (illegal logging), singkatnya semua kekayaan
alam Papua adalah karunia Allah SWT, bagi Orang Papua harus kita pertahankan
dari perampokan bangsa Muslim Indonesia ini, dan dilawan untuk di pertahankan.
Muslim Papua harus melawan ini sebagai jihad fisabilillah. Sebab pengertian
Islam secara generiknya sejalan dengan pengertian pembebasan atau kemerdekaan.
D. Islam Agama Tuhan
Bagi banyak kalangan masyarakat
Papua, Umumnya menganggap bahwa Islam berarti Jawa atau Bugis-Buton-Makasar dan
atau juga Ternate, singkatnya mereka yang umumnya berasal dari luar Papua,
selain Kabupaten Fak-Fak atau Daerah Selatan Kepala Burung Papaua. Karena
Muslim Papua berarti mereka yang berasal dari kebanyakan orang Indonesia yang
Melayu Asia itu. Maka persepsi orang lalu Islam melegalisasikan ajarannya
sebagimana kelakuan Muslim adalah salah dan ini berbahaya. Memang yang akan
menjadi akibat parah adalah orang Papua di zaman penjajahan Indonesia atas
Papua ini, kebanyakan kita memeluk dan beribadah bersama Muslim penjajah-dan
menganggap Islam sama dengan Indonesia. Islam harus dibedakan dari suku bangsa,
Jawa tidak selamanya Islam, tapi Jawa ada juga Muslim.
Anggapan demikian benar karena
Muslim adalah mayoritas penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa itu
atau 85% dari penduduk dan secara statistik adalah jumlah pemeluk agama Islam
terbesar dunia. Dan sehingga memang, kenyataan di mana-mana dikota Papua
didapati para "amber", pendatang, ini hampir seluruhnya Muslim atau
mereka yang beragama Islam. Tapi harus dibedakan dan kita harus ingat bahwa
Islam agama Tuhan, Islam agama diperuntukkan bagi umat manusia dijagat raya,
tidak hanya, Indonesia yang mendholimi bangsa Papua dan juga muslim Papua yang
ada didalamnya.
Lalu di manakah kaitan Islam
dalam mendukung proses pembebasan tanah Papua oleh Muslim Papua? Islam di
manapun wajib dan akan terus dihadirkan guna membebaskan manusia atas
penjajahan, perampasan hak-hak asasi manusia, dan penindasan oleh bangsa atas
bangsa lain. Lalu pertanyaan intinya sebagaimana judul tulisan ini, Adakah
Islam Mendukung Papua Merdeka? Jawabannya 100% mendukung sebagaimana pengertian
Islam dari "sana"-nya (baca; lauhul mahfudz), karena kemerdekaan
adalah hak kodrati yang dijamin oleh Allah SWT, kepada setiap individu dan
bangsa. Tapi kalau pertanyaan ini di tanyakan dengan, adakah Muslim Mendukung
Papua Merdeka? Jawabannya ada dan tidak, karena jawabannya ada dan tidak, maka
masalah ini harus didekati secara lebih dekat agar kita dengan secara lebih
arif pula mengerti yang ada ini siapa mereka sebagai saudara dan yang tidak
kita jadikan sebagai politic enemy bersama.
Mungkin bagi Muslim lain penulis
dapat dianggap gegabah. Namun penulis berani mengatakan ini karena penulis tahu
bahwa yang berpendapat kebalikan dari penulis di sini adalah mereka yang tidak
tahu Islam atau tidak belajar Islam selain hanya sebagai KTP yang tertera
beragama Islam yang juga berarti yang dimaksud dengan Muslim itu. Karena jumlah
penduduk Indonesia saat ini adalah yang terbesar dan mayoritas penduduknya
beragama Islam di dunia maka penting di jelaskan di sini, tentang perbedaan
pengertian antara Islam dan Muslim mengingat Bangsa Muslim yang besar dunia ini
dirasakan sedang menjajah orang Papua yang sesungguhnya juga sangat, sekali
lagi sangat bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran Islam yang agung dan
mulia itu.
Namun hanya faktor kebetulan
sajalah yang menjajah Papua saat ini adalah Muslim Indonesia, yang walaupun
tidak sesuai dengan nilai kebenaran Islam yang melarang penjajahan itu.
Sehingga orang seperti penulis sendiri yang baru belajar nilai ajaran Islam di
Universitas menjadi tahu bahwa penjajahan Indonesia atas Papua sama sekali
tidak ada kaitan sebagai menjalankan aturan Islam oleh Muslim Penjajah,
Indonesia.
Islam dan Muslim berbeda walaupun
berasal dari satu akar kata. Perbedaan Islam dan Muslim itu setidaknya dalam
pengertian. Muslim sebagai kata benda yang berarti manusianya, sedangkan Islam
sebagai kata sifat yang abstrak, berarti nilai. Sesuatu yang berdimensi nilai
berarti juga sesuatu yang dianggap suci, sakral (keramat), yang berintikan
ajaran-ajaran doktrin pokoknya bersifat transendetal, diluar jangkauan dari
akal pikiran manusia yang terbatas. Misalnya menyangkut keadilan, kebenaran
sebagai pokok ajaran intinya yang diharap dari para pemeluk agama, yang
walaupun secara terus menerus manusia ingin mewujudkan keadilan, kebenaran itu.
Dalam pencapaiannya, manusia
tidak pernah sangggup dan malah tidak pernah sampai. Bahkan sampai seluruh usia
dihabiskan untuk mewujudkan ini, atau bahkan dari generasi kegenerasi manusia
sepanjang hidupnya, hanya kebenaran subyektif, keadilan subyektif semata,
kecuali terus menerus intrepretasi oleh para teolog sebagai inovasi doktrin ini
ajaran agama belaka yang dibatasi oleh dimensi waktu dan tempat.
Namun hanya faktor kebetulan
sajalah yang menjajah Papua saat ini adalah Muslim Indonesia, yang walaupun
tidak sesuai dengan nilai kebenaran Islam yang melarang penjajahan itu.
Sehingga orang seperti penulis sendiri yang baru belajar nilai ajaran Islam di
Universitas menjadi tahu bahwa penjajahan Indonesia atas Papua sama sekali
tidak ada kaitan sebagai menjalankan aturan Islam oleh Muslim Penjajah,
Indonesia.
Islam dan Muslim berbeda walaupun
berasal dari satu akar kata. Perbedaan Islam dan Muslim itu setidaknya dalam
pengertian. Muslim sebagai kata benda yang berarti manusianya, sedangkan Islam
sebagai kata sifat yang abstrak, berarti nilai. Sesuatu yang berdimensi nilai
berarti juga sesuatu yang dianggap suci, sakral (keramat), yang berintikan
ajaran-ajaran doktrin pokoknya bersifat transendetal, diluar jangkauan dari
akal pikiran manusia yang terbatas. Misalnya menyangkut keadilan, kebenaran
sebagai pokok ajaran intinya yang diharap dari para pemeluk agama, yang
walaupun secara terus menerus manusia ingin mewujudkan keadilan, kebenaran itu.
Dalam pencapaiannya, manusia
tidak pernah sangggup dan malah tidak pernah sampai. Bahkan sampai seluruh usia
dihabiskan untuk mewujudkan ini, atau bahkan dari generasi kegenerasi manusia
sepanjang hidupnya, hanya kebenaran subyektif, keadilan subyektif semata,
kecuali terus menerus intrepretasi oleh para teolog sebagai inovasi doktrin ini
ajaran agama belaka yang dibatasi oleh dimensi waktu dan tempat.
SEKIAN SALAM PAPUA MERDEKA